LaskarPelangi berkisah tentang kehidupan sepuluh anak yang berasal dari keluarga miskin di sebuah sekolah SD Muhammadiyah di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Mayoritas anak-anak itu berasal dari keluarga yang berprofesi sebagai penambah timah.
KepalaKeluarga; Uang Memang Bukan Segalanya, tapi Tanpa Uang Kita Tidak Bisa Makan; Cerpen: Keluarga Penggibah; Jika Memang itu Takdir; Pramuka Memang Harus Peduli; Ketika Kemanusiaan Berada di Atas Segalanya
Merekamencintaimu apa adanya, dan kasih sayangnya tidak pernah pudar. Barangkali, itulah pesan yang terselip dalam kata-kata mutiara keluarga bahagia pada kutipan di atas. 10. Keluarga Selalu Ada. Keluarga adalah salah satu hal terpenting yang kita miliki, yang tak akan pernah berubah dan selalu ada ketika dibutuhkan.
PerihalOrang Miskin yang Bahagia. Cerpen Agus Noor. 1. "AKU sudah resmi jadi orang miskin," katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. "Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.". Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat
Pasanganitu kemudian semakin miskin karena terjadi ledakan kebutuhan hidup dengan lahirnya anak-anak. Apalagi banyak keluarga miskin justru memiliki anak banyak. Mereka mungkin kurang pengetahuan tentang bagaimana mengendalikan kelahiran, atau pengetahuan mereka tentang hal ini cukup namun tak mampu membeli alat-alat kontrasepsi.
MenurutSekretaris Desa (Sekdes) Wanglu, Daroni (51), pemasang stiker keluarga miskin penerima bantuan sosial di rumah Erna dilakukan pada Selasa (17/12/2019). Sponsored Ad Pemilik rumah awalnya tidak mempermasalahkan terkait pemasangan stiker keluarga miskin.
ddNu. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat. Sebaik-baiknya sharing and connecting adalah membaca buku yang ditulisbagikan hasil bacaannya. Bisa begitu gak ya? Kalau bisa, oke kata-paragraf selanjutnya di bawah ini bukanlah resensi atau kritik terhadap buku. Apalagi sejenis āmeta-teoriā. Sungguh-sungguh ini hanyalah sedikit cerita tentang karya, sedikit kesaksian atas tentang sebuah buku yang lahir dari tradisi antropologi. Buku yang ketika pertama kali diterbitkan, S Aji masihlah ruh yang belum diamanahkan Tuhan menjalani tugas sebagai manusia fana di bumi yang sementara. Buku yang dalam bahasa asalnya berjudul Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty Basic Books. Terbit tahun 1959 oleh antropolog berkewarganegaraan Amerika Serikat, Oscar Lewis. Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001 oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia. Lalu hadir lagi cetakan kedua pada tahun 2016 dengan judul Kisah Lima Keluarga Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Saya kurang tahu jika sebelum ini sudah ada penerbit yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, dari ucapan terimakasih penulisnya, buku ini lahir dari studi etnografis yang memakan waktu sekitar 10 tahun yakni dari tahun 1948 hingga 1958. Studi yang juga menandai pergeseran lapangan penelitian antropologi dari fokus pada masyarakat primitif kepada petani dan masyarakat miskin perkotaan. Sebagaimana judulnya, buku ini menceritakan situasi hidup sehari-hari lima keluarga Meksiko. Kelima keluarga itu adalah keluarga Martinez, Gomez, Gutierrez, Sanchez, dan Castro. Ada sekitar 422 halaman yang harus dihabiskan jika ingin menikmati pelukisan mendalam Oscar Lewis atas kebudayaan kemiskinan Culture of Poverty keluarga sendiri baru membaca keluarga pertama, Martinez. Sang kepala keluarga bernama Pedro dan istrinya bernama Esperanza, nama-nama yang mengingatkan kita tentang telenovela yang pernah jaya di stasiun tv tanah air sekitar tahun 1990an. Pedro mewakili tipe kepala keluarga yang otoriter dan berkuasa, sedangkan Esperanza, perempuan sederhana dan patuh. Saking miskinnya keluarga ini, untuk menyalakan tungku, Esperanza menolak menggunakan korek api yang masih merupakan barang mewah saat itu. Esperanza memilih mengipasi arang yang mengendapkan bara sepanjang Oscar Lewis, hemat saya, adalah ia menuliskan aktifitas pembagian kerja anggota keluarga laki-laki dan perempuan dalam rumah keluarga Martinez secara detail. Apa yang dilakukan Esperanza dan anak perempuannya sepanjang hari juga anak laki-laki mereka yang pergi bekerja di ladang mengikuti ayah mereka hingga senja memanggil pulang tergambar begitu hidup. Pelukisan pembagian kerja ini dibaluti oleh pelukisan lingkungan tempat tinggal mereka dengan detail pula. Sehingga yang terbaca adalah pelukisan mendalam yang bolak balik antara kehidupan dalam rumah domestik dan kehidupan di luar publik dalam lansekap besar kebudayaan kemiskinan manusia berhenti di situ, Oscar Lewis juga melukiskan emosi-emosi yang muncul dari hubungan anggota keluarga, konflik-konflik Pedro dengan anak perempuan juga anak lelakinya. Termasuk kecemasan Esperanza ketika menyiapkan makanan untuk keluarga besar yang hidup di ruang sempit. Asiknya lagi, tidak ada evaluasi moral atau kritik terhadap kemiskinan yang termuat dalam pelukisan keluarga Meksiko ini. Sehingga kenikmatan membaca tidak berhenti sejenak karena harus mencari penjelasan pada kritik-kritik teori pembangunan. Saya juga merasakan bahasa yang digunakan oleh Oscar Lewis, sejauh membaca hasil terjemahannya, relatif lebih mudah menuntun pikiran dan perasaan. Kenikmatan yang sama tidak saya langsung temukan ketika pertama kali membaca buku antropolog Clifford Geertz-nama yang harus ditulis hati-hati karena letak huruf z dan t yang tidak boleh tertukar demi tidak ditegur kali kedua oleh Pakde Ahmad Jayakardi, he he he- tentang Involusi Pertanian, misalnya. Bisa jadi karena daya tangkap saya masih terlalu sederhana. Sesederhana kerinduan kepada kemunculan kembali Vonny Cornelia..[lhooo!! GagalPindahIdola]Yang jelas, Oscar Lewis menulis laporan penelitian lapangannya seperti sebuah cerpen yang sangat detail dan mendalam lagi hidup. Saya merasa ada di dalam cerita, mengalami emosi yang diaduk-aduk, terenyuh dan setengah tidak percaya ada potret keluarga seperti rumah tangga kesan bahwa pelukisan lima keluarga dalam kebudayaan kemiskinan Meksiko seperti membaca karya sastra juga diakui oleh Parsudi Suparlan. Antropolog Indonesia yang ikut memberi kata pengantar. Begini kata Parsudi Suparlan yang pertama kali membaca buku ini tahun 1967 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya
Cerpen keluarga tak mampu yang berjudul kubuang rasa malu demi anakku adalah cerita tentang keluarga miskin yang anaknya ingin sekolah tapi tak mampu membayar uang pendaftaran lebih jelasnya cerita keluarga yang kurang mampu tersebut disimak saja cerpen pendek atau cerita mini dengan judul kubuang rasa malu demi anak dibawah Rasa Malu Demi Anak Author Reski PurnamaWajahnya terlihat murung, setelah tahu bahwa aku tidak punya uang sebanyak itu. Pulang dari ladang, dia memberi kabar bahwa dia diterima di sekolah yang dia inginkan."Pah, aku diterima. Senin depan harus mendaftar ulang.""Berapa uang pendaftarannya, Nak?""Satu juta tiga ratus tujuh puluh lima.""Hmm, iya akan apah usahakan."Nominal yang anakku sebutkan itu tentu saja tidak ada. Kerja sebulan pun aku belum tentu bisa memegang uang sebanyak aku ayah yang tidak sempurna. Tetap miskin walaupun kerja siang aku pungkiri jika selalu menunggak bayar uang sekolah mereka.'Nak, maafkan papah.'**Usai makan malam. Anakku kembali menanyakan hal itu. Maklum waktu pendaftaran pun dibatasi pihak sekolah, lewat batas akhir berarti dianggap hangus."Pah, gimana? Atau aku sekolah di SMA saja? Kalau di SMA biaya masuknya cuman lima ratus ribu."Aku menelan ludah yang hampir kering. Jangankan lima ratus, bahkan dompet ini tak berpenghuni sedikitpun."Sabar ya, Nak. Pokoknya akan apah usahakan.""Hmm, baiklah."**"Abang punya uang? Mau minjam kemana lagi? Udahlah, aku lebih baik dia berhenti sekolah dari pada anak tua kita." Istriku berucap tanpa berpikir lebih sengaja, ternyata anakku itu mendengarnya, aku lihat dia menangis tertahan. Aku mengerti pasti hatinya terluka."Kamu jangan bicara begitulah, Ma. Bagiku anak-anakku akan tetap aku sekolahkan bagaimana pun caranya.""Ya terserah, Abang."Hari-hari mulai berlalu, aku lihat dia berusaha tegar, semakin membuatku merasa bersalah. Dia masih beraktifitas seperti biasa, hanya sering terlihat kali teman-temannya datang karena dia belum juga mendaftar ulang. Dia hanya menjawab dengan senyum yang menuruti semua keinginan ibunya. Bahkan tidak mengapa ikut berendam di air yang keruh walaupun lisan ibunya sudah menyayat harinya aku berpikir keras. Mungkin ada jalan keluar yang lain. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengemis ke pihak harinya, sebelum mulainya masa orientasi siswa-siswi baru. Aku dan dia berangkat ke sekolah menemui kepala yang bersangkutan."Pak, apakah boleh anak saya sekolah dulu, uang pendaftaran belakangan."Waka siswa itu tercenung sejenak. Aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Apakah dia mencemoohku dalam hatinya, ntahlah."Saya tidak bisa memutuskan, Pak. Mungkin lebih baik bapak datang ke sekolah besok."Aku mengangguk, kami pun pamit pulang. Ke esokan paginya aku penuhi janji untuk datang langsung ke sekolah. Kulihat anakku sudah berkemas memakai baju putih abu-abu bekas kakaknya berangkat mengantongi uang seratus enam puluh sembilan ribu. Sesampainya di sekolah, aku masuk ke ruangan tata usaha. Di sana banyak guru dan kepala diminta bicara langsung dengan kepala sekolahnya. Tanpa malu aku memohon kepada kepala sekolah."Pak, tolonglah. Izinkan anak saya sekolah dulu. Uang pendaftarannya menyusul."Beberapa kali kepala sekolah itu menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar."Mana anak Bapak itu?"Aku bergegas memanggil anakku ke luar. Di dekat tiang, aku lihat dia menangis sambil kedua netranya terus memandang barisan teman-temannya yang sedang MOS."Nak, ayo masuk. Jangan menangis."Dia masuk setelah menghapus air matanya. Kepala sekolah langsung melontarkan beberapa pertanyaan."Benar kamu ingin sekolah di sini?""Iya, Pak.""Kenapa tidak di SMA? Di sini kan biayanya mahal.""Nggak, Pak. Pengen di sini, biar bisa kerja tamat dari sini.""Rangkingnya gimana?"Dengan sangat jujur anakku memeberi tahu seluruhnya. Mulai rangking SD sampai SMP."Kok bisa dapat rangking 14 pas SMP?""Banyak yang lebih pintar, Pak.""Masa mau kalah begitu saja? Pasti waktu itu malas ya.""Nggak, Pak.""Hmm, kamu boleh sekolah di sini. Asalkan kamu janji, Bapak mau lihat kamu jadi juara. Sanggup?""Iya, Pak. Inshaa Allah."Aku lega setelah mendengar ucapkan kepala sekolah. Akhirnya anakku bisa sekolah juga. Uang yang aku bawa seluruhnya aku berikan untuk membayar uang mengapa aku pulang jalan kaki, menempuh jarak 2,5 km. Semua demi anakku, karena itu adalah e l e s a i
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Cerpen Pak Miskin dan Kartu MiskinnyaAwan berarak. Cerah sekali warnanya. Biru dan membiru sebagai penghias langit nan tinggi. Mengornamen pagi itu. Seorang lelaki tampak bergegas. Langkahnya cepat sekali. Kantor Kelurahan menjadi targetnya. Hari itu lelaki yang bersandal jepit butut dengan baju kaos partai dan celana pendek bola datang ke Kantor kelurahan. Tujuannya amat jelas, memenuhi undangan kelurahan yang diterima istrinya kemarin sore." Alahmdulillah Bu. Akhirnya kita tercatat sebagai orang miskin. Dan kita sudah sah sebagai warganegara miskin," ujarnya kepada istrinya usai membaca surat yang diberikan istrinya. Istrinya hanya terdiam. Bingung. " Kok bangga sekali jadi orang miskin," pikir istrinya sembari berlalu meninggalkan sang suami yang masih menatap surat dari kelurahan itu dengan wajah sumringah. Seolah-olah baru saja memenangkan undian lotere berhadiah milyaran dari kantor kelurahan, lelaki miskin itu tak langsung pulang ke rumah. Tujuannya kini ke pasar. menemui rekan-rekan sejawatnya. Tukang parkir, tukang becak, dan sejumlah profesi lainnya yang koheren dengan profesi tak berdaya ledak tinggi sepertinya dirinya sebagai pemulung. lelaki itu ingin mengabarkan kabar bahagia yang diterimanya. Dan kabar gembira ini harus diketahui oleh rekan sejawatnya biar mareka mendapatkan juga predikat orang miskin dari Pemerintah." Kamu ini kok aneh. aneh sekali. Bahagia banget dapat kartu miskin," tanya rekannya yang berprofesi sebagai tukang tabal ban." Kamu harus tahu dan pahami bahwa dengan kartu ini kita telah mendapat legitimasi dari pemerintah sebagai orang miskin. Sah sebagai orang miskin. Tak perlu didata lagi," ungkapnya dengan nada suara gembira." Betul sekali. buat apa kita selama ini didata. Ditanyain ini itu. Memusingkan kepala. Ujung-ujungnya tetap miskin,' bela rekannya." Nah sekarang saya mau tanya?Apa keuntungannya dapat kartu miskin," tanya temannya lagi dengan rasa penasaran." Banyak keuntungan yang akan kita dapati. Ntar kamu kalau sudah dapat kartu baru bisa merasakan saktinya kartu ini. Sekarang saya mau pulang. mau mengabarkan kepada istri kabar bahagia ini," katanya sambil meninggalkan rekan-rekannya yang masih miskin itu tidak pernah merasa sedih dengan nasib miskinnya. Sama sekali tak protes dengan nasib keluarganya juga miskin. Ayahnya cuma seorang penarik becak. Adiknya juga sama. Meneruskan profesi Ayahnya sebagai pembecak. Demikian juga dengan adik perempuannya. Hanya sebagai buruh cuci harian di miskin itu juga tak pernah protes kepada Tuhan soal kenapa dirinya miskin. Apalagi kepada pemerintah. Bagi lelaki miskin itu kemiskinan dirinya dan keluarga sudah menjadi takdir hidup yang tak bisa dilawan. apalagi diprotes sebagaimana demo protes yang sering dilihatnya di televisi milik tetangganya. " Buat apa protes? tak ada gunanya. Vma buang-buang waktu saja,' ungkapnya sewaktu temannya mengajak dirinya protes ke Pak RT kenapa mareka tidak dapat beras miskin." Toh mareka punya data kok siapa warga miskin di RT kita. jangan-jangan kita bukan warga miskin,' ujarnya sembari ketawa yang membuat temannya langsung lelaki itu merasa tak perlu susah lagi kalau ada pembagian beras buat warga miskin. dirinya sudah punya kartu miskin dari negara. Dirinya tak perlu mengantri lagi kalau ada pembagian sembako murah. dirinya suda punya kartu miskin." Makanya kamu harus dapat kartu miskin dari negara kalau kamu mau tidak mau antri kalau ada pembagian sembako," pesannya kepada teman-temannya. 1 2 Lihat Cerpen Selengkapnya
Namaku Mutiara. Aku anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Ayah dan ibu pernah bilang, nama itu tercipta karena aku adalah perhiasan dan harta satu-satunya yang paling berharga. Bisa saja itu benar karena ayah dan ibu memang tak punya harta apa pun sejak pergi dari desa. Ayah dan ibu merantau ke Jakarta karena diiming-imingi teman untuk mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Setelah menjual segala yang mereka punya dan berangkat ke Jakarta, teman ayah justru hilang bawa kabur uang tersebut. Ayah dan ibu terpaksa menguras tenaga yang tersisa untuk bekerja serabutan. Pulang ke desa sudah tidak mungkin, uang sudah tak bersisa. Lagipula, keduanya sudah kelewat malu menampakkan wajah ke orang-orang desa. Di kota yang penuh luka ini, kami tinggal di kos murah yang sering mati listrik. Untuk membantu ayah dan ibu, aku berjualan gorengan keliling. Kadang saat hujan, aku menemani ayah berjualan jas hujan di pinggir jalan. Di waktu senggang, aku menawarkan jasa pijat dan bersih-bersih. Baca juga Air Mata untuk Arcana Aku benar-benar harus bersyukur bukan? Pemilik kos kami, Ibu Vina, sangat baik, terutama jika dibandingkan ibu-ibu kos sebelumnya. Mereka biasanya mengusir kami setelah tak sanggup membayar uang kos. Ibu Vina juga sering memberikan pekerjaan membereskan rumah kepada ibu setelah acara hajatan. Ibu Vina juga enggan menaikkan biaya kos karena iba. Sebagai gantinya, Ibu Vina memintaku membersihkan kamar-kamar kos kosong yang harus siap sebelum penghuni baru tiba. Malam ini, listrik lagi-lagi padam serentak. Di minggu ini saja, sudah tiga kali pemadaman listrik terjadi. Untungnya, rumah mewah yang berjarak 2 menit dari kos masih terang-benderang. Kami bersyukur lampu-lampu rumah dengan pagar yang tingginya dua kali lipat dari tubuhku itu, sedikit menyinari kami. Hanya sedikit, karena kami mendapatkan bayangan lampu di balik tembok pemisah yang juga sama tingginya. Malam ini, aku sendirian di kamar. Ayah dan ibu belum pulang karena tengah diminta membantu acara hajatan anak ketua RT. Aku bergegas mencari lilin sisa kemarin di bawah tumpukan baju kotor ayah. Lalu aku berjalan ke pintu, merogoh kantong jaket Ayah untuk mencari korek api. Aku menyalakan lilin yang tinggal sepertiga itu dengan hati-hati. Seketika kamar sempit ini dihiasi cahaya remang-remang. Sudah lebih baik. Sudah jauh lebih baik. Aku kali ini harus benar-benar bersyukur, bukan? Aku melihat bayanganku terpantul di dinding. Terkenang masa-masa lampau ketika ayah mencoba mengusir rasa takutku dengan membuat bayang-bayang hewan dengan jarinya. Ayah akan membuat bayangan burung, kelinci, rusa, kucing, ular, siput, banteng, dan gajah. Masih terngiang suara ayah yang terkekeh melihat aku kikuk dan kesulitan menirukan gerak jemarinya. Aku bahagia saat itu. Aku menatap cermin yang berada di samping kanan bayangan. Cermin retak itu memantulkan bayangan lilin dengan cantik. Aku menirukan bayangan bebek dan burung yang menurutku terlalu mudah. Dalam remang-remang, aku bergeser mendekat ke arah cermin untuk melihat bayanganku lebih jelas. Ada bayang-bayang perempuan cantik dengan tas mentereng. Ada bayang-bayang laki-laki tampan menjemput dengan mobil dan membawaku makan di restoran mewah. Aku melihat baju-baju bermerek tersusun rapi di lemari kaca. Aku melihat perhiasan berebut melingkari leher dan lengan. Aku melihat rumah-rumah dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Aku melihat⦠ā¦lilin habis. Baca juga Meneguk Air Mata Aku menghela napas panjang. Dengan setengah meraba, aku beranjak mencari lilin lainnya di pojok ruangan dan menyalakan lilin baru yang juga tinggal sepertiga. Aku menggeser tumpukan kain dan menaruh lilin dengan hati-hati di samping cermin. Aku ingin melihat bayang-bayang lain lagi. Bayang-bayang yang lebih menarik dari bayangan yang ayah buat. Bayang-bayang yang lebih menarik dari hidupku yang membosankan. Listrik menyala. Ayah dan ibu mengetuk pintu. Aku menatap ayah dan ibu dengan tatapan kecewa untuk pertama kalinya. Aku menatap wajah mereka yang renta dan keriput. Aku tahu sedang menatap kemiskinan. Mereka pun hidup dengan bayang-bayang kemelaratan yang setia. Menatap bayangan di cermin kini menjadi rutinitasku setiap lampu padam. Aku menanti-nanti kapan selanjutnya pemadaman listrik agar aku bertemu dengan bayang-bayang baru. Aku sudah menyiapkan sketsa bayangan-bayangan Bayangan bepergian keliling dunia, melanjutkan pendidikan di kampus ternama, bekerja di gedung tinggi ber-AC, berkeliling butik terkenal, memiliki mobil mewah, memiliki kekasih serupa pangeran tampan, undangan pernikahan yang megah, dan bahkanā¦aku memiliki bayangan lahir di keluarga yang berbeda. Bayang-bayang itu semakin lama semakin kabur seiring dengan seringnya aku mencari. Bayangan yang indah digantikan dengan bayang-bayang diriku Rambut kusut, wajah kusam, alis yang tidak rata, hidung yang pesek, badan yang tidak tinggi, bunyi kipas rusak, lengking pertengkaran tetangga, lilin yang hampir habis, serta hidup yang menyedihkan. Bayangan di cermin semakin lama semakin tidak menyenangkan. Kadang-kadang muncul bayangan ibu menangis, atau bayangan ayah berjalan menjajakan jas hujan sendirian. Bayangan piring kotor yang belum dicuci, jemuran pakaian yang belum diangkat, pintu kamar mandi yang susah dibuka, kotoran cicak, atau hanya bayangan asap obat nyamuk bakar. Aku berusaha mencari-cari bayangan lainnya yang semakin lama semakin menghilang. Aku menepuk-nepuk cermin dengan keras. Ini bukan bayangan yang kuinginkan! Bukannya bayangan yang muncul, retakan cermin justru semakin melebar. Aku jadi takut berada di kamar saat lampu padam. Aku cemas saat ayah dan ibu belum kembali. Setelah bayang-bayang yang indah menghilang sepenuhnya, bayangan-bayangan yang lebih buruk muncul dan memenuhi cermin lebih cepat. Aku melihat diriku berubah menjadi orang lain. Aku melihat tubuh mungilku terkelupas, hancur menjadi keping-keping dan digantikan oleh orang lain. Aku melihat bayangan diriku menangis sendirian. Aku tidak lagi dapat mengenali diriku sendiri. Itu bukan bayangan, ternyata. Itu adalah diriku sendiri. Air mata mengalir di pipiku. Dadaku sesak dan napasku tidak teratur. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Dalam sedihku yang teramat sangat, aku mengumpulkan sisa tenaga dan menarik cermin tersebut ke lantai. Cermin itu pecah berkeping-keping. Bayanganku pecah menjadi beribu bayangan kecil. Aku memunguti pecahannya, menyapu sisa-sisa butiran kecil yang tersisa, dan membuangnya ke tempat sampah. Baca juga Hilangnya Sono Suara ketukan. Ibu pulang. Aku membuka pintu. Ibu melemparkan senyum ke arahku di antara bajunya yang lusuh dan keringat yang bercucuran. Di tangannya tersedia nasi bungkus. āMutiara, ini ibu bawakan makan dari Ibu Tini,ā tuturnya lembut. āWajahmu pucat, maaf ya, Ibu pulang terlalu larut. Ayah masih di luar, kita makan saja duluan,ā lanjutnya sambil mengelap piring. āIbuā¦maaf, aku tidak sengaja menyenggol cerminnya. Sudah aku buang dan bereskan,ā kataku sambil menggigit bibir. Ibu mendekatiku dalam tatapnya yang sayu, āTidak apa-apa. Buat ibu, yang penting kamu tidak terluka bukan? Ada banyak cermin lain di dunia ini, Mutiara. Tapi hanya satu untuk cermin dalam diri sendiri.ā Aku memeluk ibu erat-erat dan menangis dalam pelukannya. Ibu mengelus kepalaku sembari mengucap maaf tanpa suara. Ibu, aku akan hidup dalam bayanganku sendiri. Post Views 234
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Identitas CerpenJudul Cerpen Perihal Orang Miskin Yang BahagiaNama Penggarang Agus NoorPenerbit LakonhidupTahun Terbit 2010PendahuluanPerihal Orang Miskin Yang Bahagia menceritakan tentang orang miskin yang baru diakui kemiskinannya. Dia pernah mau mengubah garis hidupnya yang buruk tetapi tidak bisa karena dia ditakdirkan untuk menjadi miskin. Dia dengan bangga memamerkan kemiskinannya. Walaupun mereka miskin tetapi keluarga mereka sangat bahagia dan selalu bekerja dengan ulet. Isi Resensi Kelebihan dan Kekurangan CerpenKelebihan Ceritanya bagus dan menarik. Disaat orang menceritakan tentang kemewahannya cerpen tersebut justru menceritakakn tentang orang miskin yang bahagia dengan sederhana dan mudah dipahamiGaya bahasanya sederhana tidak terlalu rumitKekurangan Tidak ada konflik yang rumitTidak ada nama tokoh SimpulanCerita tersebut mudah dipahami. Dapat dibaca oleh segala usia baik remaja maupun orang tua. Memiliki nilai moral yang baik,yaitu untuk selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah SWT. kepada bisa ditambahi beberapa konflik,agar lebih menarik untuk bisa diberi keterangan nama tokoh,agar pembaca tidak bingung saat membaca Lihat Hobby Selengkapnya
cerpen tentang keluarga miskin